(Jakarta, 29/03/23) Tanggal 24 Maret di setiap tahunnya, Hari Tuberkulosis Sedunia disemarakkan. Salah satu rangkaian dalam memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia adalah melalui kegiatan Sosialisasi dengan tema “Dukung Pengobatan TBC, Wujudkan Sekolah Bebas TBC” yang dilaksanakan pada 29 Maret 2023 di @America, Jakarta. Kegiatan ini dihadiri oleh siswa dan tenaga pendidik SMA di DKI Jakarta.
Kegiatan ini dimulai dengan sambutan dari Ibu Enilda Martin, Direktur Kantor Kesehatan USAID Indonesia, memberikan apresiasi atas meningkatnya penemuan kasus Tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2022. “Amerika Serikat sudah bermitra dengan Indonesia untuk menurunkan beban TBC melalui pendekatan multiaspek,” Ibu Enilda Martin menambahkan.
Dalam sesi panel diskusi yang dimoderatori oleh dr. Farhan Zubedi dari TikDok Indonesia, Bapak dr. Imran Pambudi, MPHM, Direktur P2PM Kemenkes, menyatakan bahwa TBC masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia dan Indonesia. Saat ini Indonesia merupakan negara dengan beban TBC tertinggi ke-2 di dunia.
“Indonesia telah menandatangani kesepakatan bersama dengan para pemimpin dunia untuk berusaha mencapai eliminasi TBC pada tahun 2030, yang juga termasuk dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) terkait kesehatan,” papar Bapak dr. Imran Pambudi MPHM, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes RI.
Kegiatan ini diharapkan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran siswa sekolah, mahasiswa, hingga masyarakat umum akan TBC, meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat tentang pencegahan penularan, pemeriksaan dan pengobatan TBC yang berkualitas dan mengajak masyarakat untuk berperan bersama dalam upaya program pencegahan dan pengendalian TBC.
Dalam kegiatan ini juga disampaikan gejala dan pencegahan TBC oleh dr. Madeleine, Sp.A(K), perwakilan dari IDAI Jakarta. Saar ini, TBC pada remaja banyak banyak ditemukan. Anak dengan kurang gizi atau gizi buruk juga tinggi kasusnya. Namun, TBC anak bisa disembuhkan. Penting untuk mengetahui gejala TBC Anak, seperti berat badan turun, batuk lebih dari 2 minggu, demam lebih dari 2 minggu, dan malaise atau lemah lesu. Dokter yang akrab disapa dr. Maudy ini juga menyampaikan bahwa jika keluarga ada yang sakit, anggota keluarga yang sehat bisa diberikan TPT.
Sementara itu, dalam sesi talkshow, dr. Tiffany Tiara Pakasi, MA, yang merupakan Ketua Tim Kerja TBC menyampaikan bahwa Sekolah Peduli TBC sudah mulai dikampanyekan melalui UKS sebagai upaya mengenalkan beberapa penyakit untuk kemudian dibuat langkah langkah pencegahan dari sekolah. Sekolah Peduli TBC diawali dengan analisis situasi seperti ketersediaan SDM (PJOK, dokter cilik, tenaga kesehatan dari puskesmas), beban penyakitnya, pengorganisasian, hingga perencanaan. Selain dengan sekolah dilakukan juga kolaborasi dengan puskesmas atau Dinas Kesehatan setempat.
Kegiatan menarik yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kampanye Sekolah Peduli TBC dapat dilakukan melalui lukisan, puisi, majalah dinding, dan diintegrasikan dengan kegiatan lain. Mulai dari lingkungan sekolah maupun rumah. Dalam memulai kampanye ini, peran siswa maupun tenaga pendidik sangat dibutuhkan.
Farahdiba, penyintas TBC yang sembuh pada tahun 2019, membagikan cerita perjalanan pengobatannya selama menjadi pasien TBC. Farah sakit pada tahun 2017 dengan gejala yang dirasakan hanya demam berkepanjangan tanpa alasan jelas namun tidak ada batuk. Setelah demam, Farah dirawat inap akibat tersebut berat badan turun dan hasil rontgen yang mengarah ke TBC. Farah pun mendapat pengobatan TBC Sensitif Obat. Setelah 3 bulan, Farah tetap positif dan dugaannya benar, Farah mengalami TBC Resistan Obat. Farah didampingi ibunya selaku pendamping obat (PMO). Farah mengalami kesulitan dan putus obat. Setelah 8 bulan putus obat, Farah dibantu oleh PMO untuk menjalani pengobatan kembali. Namun, Farah kemudian dinyatakan XDR karena mangkir pengobatan.
“Ada beberapa Teman kuliah ada yang menjauh, namun tetap berteman. Ada beberapa yang tetap mendukung. Keypoint untuk teman teman, jauhi penyakit tapi jangan orangnya, peduli dengan menghubungi melalui WhatsApp atau status sangat membantu.”
Dukungan dari orang terdekat sangat dibutuhkan oleh pasien TBC yang sedang berjuang menjalani pengobatan. Untuk itu, mari berikan semangat dan selalu dukung pasien TBC di sekitar kita!
Editor: Windy Oktavina, Dinda Anisa Rakhmawulan, Farah Alphi Nabila