Side Event G20 Pembiayaan untuk Penanggulangan TBC: Mengatasi Disrupsi COVID-19 dan Membangun Kesiapsiagaan Pandemi di Masa Depan

Bagikan Artikel

[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=vfmhXdP3Vhs[/embedyt]

YOGYAKARTA – Pada 29-30 Maret 2022, diselenggarakan perhelatan kegiatan sampingan Presidensi G20 Indonesia yaitu Side Event dengan tema Tuberkulosis (TBC) pada Health Working Group (HWG) yang pertama. Kegiatan ini dilaksanakan secara hybrid dengan tujuan antara lain menyajikan kebutuhan untuk mobilisasi sumber daya tambahan untuk respon TBC melalui mekanisme kerjasama multilateral, bilateral dan domestik. Selain itu, dalam kegiatan ini juga diajukan dokumen Call-to-Action yang menggarisbesarkan tahapan-tahapan upaya meningkatkan investasi negara-negara G20 untuk upaya penanggulangan TBC. Kegiatan ini terbagi menjadi tiga agenda yaitu keynote speeches dan webinar dengan topik ‘G20 Leadership to End TB’ di hari pertama serta empat sesi panel di hari kedua. Pada sesi keynote speeches yang dihadiri oleh Tedros Adhanom Ghebreyesus (Director General WHO), Budi Gunadi Sadikin (Menteri Kesehatan RI), Peter Sands (Direktur Eksekutif Global Fund), Atul Gawande (USAID Asisten Administrator untuk Global Health) dan Mamta Murthi (Wakil Presiden Pengembangan Manusia untuk World Bank) mencatat aspirasi bersama untuk memperkuat upaya dalam mencapai target eliminasi TBC tahun 2030 di tengah-tengah disrupsi signifikan yang disebabkan oleh pandemi COVID-19.

“Untuk pertama kali dalam 20 tahun, jumlah kematian akibat TBC meningkat. Investasi untuk respon TBC adalah tantangan untuk dapat dicapai dengan pembiayaan yang terbatas. Sedangkan kita perlu untuk memberikan investasi yang efektif dan efisien untuk infrastruktur program di kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan primer untuk mencegah, diagnosis dan mengobati seluruh masyarakat yang terdampak TBC” ungkap Director General WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus.

Maka dari itu seluruh pembicara mendorong pentingnya investasi untuk riset dan pengembangan untuk TBC, diantaranya yaitu memperluas pengembangan pemeriksaan diagnostik secara cepat, vaksin yang efektif, dan pengobatan serta regimen TBC yang singkat dan terjangkau. Juga mengembangkan surveilans secara real-time untuk TBC dan mendukung proses pengambilan keputusan berbasis data.

Di hari yang sama pada sesi ‘G20 Leadership to End TB’ dipandu oleh Meirinda Sebayang selaku Ketua Jaringan Indonesia Positif dengan dihadiri oleh Menteri Kesehatan dari Brazil, Italia, dan India yang bersama menekankan bahwa betapa pentingnya komitmen politis dan multilateral dapat mengakselerasi pengembangan, penyebaran, dan implementasi solusi terbaru dalam tanggap darurat COVID-19. Kolaborasi dibutuhkan untuk mengakhiri TBC melalui pendekatan berbasis manusia dengan menghapuskan stigma atau setiap bentuk prasangka dan mengarahkan kebutuhan masyarakat untuk pelayanan kualitas dengan berdasarkan pada hak asasi manusia dan prinsip kesetaraan gender.

[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=OMBtFIjhY1U[/embedyt]

Pada sesi panel pertama dengan tema “Upaya dan pembiayaan terkini menuju akhiri TBC belum cukup untuk mencapai target 2030”, yang dipandu oleh Lucica Ditiu (Direktur Eksekutif Stop TB Partnership) dan dihadiri oleh Tereza Kasaeva (WHO TB Programme), Paula Fujiwara (Task Force for Global Plan to End TB), Nick Herbert (Global TB Caucus), Bjorn Lomborg (Copenhagen Consensus Center) dan Madhav Joshi (India Health Fund). Pada sesi ini membahas aksi-aksi diantaranya investasi yang jatuh jauh dari yang dibutuhkan untuk mencapai target dalam Deklarasi Politis untuk Mengakhiri TBC yang sudah dipublikasikan pada saat Pertemuan UNGA tahun 2018.

“Biaya lambatnya finansial akan berdampak besar dalam pengendalian TBC, khususnya TBC-RO, dengan implikasi yang sangat besar bagi keamanan kesehatan global dan Resistensi Antimikroba (AMR). Investasi untuk TBC dalam mencapai target End TB diperkirakan mencapai US$ 230 miliar, oleh karena itu, investasi tahunan dari negara-negara untuk pengobatan dan pencegahan TBC serta penelitian dan pengembangan TBC perlu meningkat empat kali lipat pada tahun 2023-2030.” ungkap Lucica Ditiu dalam simpulan panel pertama.

Pada sesi panel kedua dengan tema “Pendekatan alternatif dan inovatif untuk memperluas pembiayaan TBC” yang dipandu oleh Tharman Shammugaratnam (Co-chair G20 high level independent panel on Financing the PPR) dan anggota panel yang sebagian besar merupakan perwakilan dari filantropi mengelaborasikan bahwa mengakhiri epidemi membutuhkan investasi rasional untuk menyesuaikan dengan beban dan dampak kehidupan dan ekonomi. Negara G20 didorong untuk meningkatkan kerjasama dengan seluruh pemangku kepentingan yang relevan termasuk survivor TBC, dewan perwakilan rakyat, masyarakat sipil, agensi teknis dan multilateral, sektor swasta, bank pengembangan, dan filantropi untuk mencegah kematian akibat TBC dan kehilangan ekonomi.

Sesi panel ketiga dengan tema, “Pengembangan Pendekatan Pertahanan Infeksi Airborne” menggarisbawahi perlunya memperkuat respons TBC yang koheren dengan pencegahan, persiapan dan respons pandemi penyakit yang menular melalui udara. Pada panel yang dipandu oleh Rebecca Katz (Direktur GHSS, Universitas Georgetown) dan dihadiri oleh Wang Hesheng, Suvanand Sahu, Vidya Krishnan, dan Erlina Burhan. Seluruh panelis menekankan perlunya negara-negara G20 untuk menjadikan TBC sebagai ancaman keamanan kesehatan global, meningkatkan investasi pada TBC dan COVID-19, serta membangun platform TBC untuk meningkatkan sistem kesiapsiagaan untuk persiapan pengembangan menghadapi pandemi di masa depan. Panelis juga menyebutkan isu ketimpangan akses obat dan teknologi disebabkan karena masalah kekayaan intelektual dan keraguan dalam produksi obat di negara global bagian selatan.

Panel keempat yang merupakan sesi panel terakhir dengan tema “Pembiayaan untuk mengakhiri TBC tahun 2030 – Bagaimana kesuksesan kepemimpinan G20 terlihat” dengan dipandu oleh Prof. Adi Utarini menggarisbawahi kurangnya penelitian dan pengembangan yang akan menghambat kemajuan menuju eliminasi TBC. Seluruh panelis menekankan bahwa tanpa penelitian dan pengembangan untuk TBC, dunia tidak mungkin mencapai target eliminasi TBC 2030. Maka dari itu penting untuk meningkatkan kapasitas penelitian di negara-negara G20 dengan beban TBC tinggi dan mengidentifikasi perlunya untuk memiliki tolak ukur dalam penelitian pembiayaan TBC. Panelis menekankan perlunya negara anggota G20 untuk membawa urgensi untuk replikasi penggunaan teknologi digital COVID-19 dalam menanggapi krisis TBC. Investasi untuk TBC akan menghemat biaya dan menguntungkan semuanya. Hal ini juga merupakan dasar dari strategi jaminan kesehatan universal: menjangkau mereka yang berada di akhir antrian.

Pertemuan Side Event TB G20 ini menekankan bahwa investasi dalam penanggulangan TBC adalah satu dari investasi yang paling efektif biaya untuk mencapai Tujuan Pengembangan Berkelanjutan (SDGs). Kegagalan dalam pembiayaan untuk penanggulangan TBC untuk mengembalikan dampak pandemi terhadap tanggapan TBC dan untuk memenuhi target akhiri TBC pada tahun 2030 akan menyebabkan dampak sosial, ekonomi dan kesehatan masyarakat yang besar terutama pada pengendalian TBC yang resistan terhadap berbagai obat (MDR-TB). Untuk itu, Presidensi G20 Indonesia mengusulkan jadwal untuk berkonsultasi dengan negara-negara anggota G20, negara-negara undangan, organisasi internasional, dan perwakilan dari Kelompok Kerja Kesehatan untuk membahas lebih lanjut Call to Action tentang pembiayaan untuk penanggulangan TBC.

Editor: Windy Oktavina, Farah Alphi Nabila

Berlangganan newsletter TBCIndonesia

Dapatkan update seputar Tuberkulosis di Indonesia

Artikel Lainnya