Siaran Pers Membangun Gerakan Bebas TBC: “Biar Saya Saja yang Sakit (TBC), Anak Saya Jangan (Harus Tetap Sehat)”

Bagikan Artikel

Sleman (2/9/2022) – Indonesia merupakan negara ketiga dengan beban Tuberkulosis (TBC) tertinggi di dunia (GTR 2021). Tidak semua orang yang terinfeksi baktero TBC akan mengalami gejala sakit TBC, kondisi ini dikenal dengan infeksi laten TBC (ILTB). Untuk dapat mengatasi kondisi tersebut diupayakan pemberian obat Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) kepada kontak serumah dan kontak erat dengan pasien TBC yang sehat dan yang berisiko tinggi terkena TBC. Pada semester pertama Tahun 2022, capaian TPT di Indonesia mencapai 3.420 orang. Walaupun masih rendah, namun angka ini perlu diapresiasi semua pihak, mengingat cakupan pasien TBC bakteriologis baru yang ditemukan pada periode Januari-Juni 2022 sebanyak 91.869 orang. Sehingga dibutuhkan penguatan kolaborasi dan usaha lebih masif untuk memberikan TPT.

Rendahnya cakupan pemberian TPT masih terkendala beberapa hal, antara lain: (a) masih rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat mengenai ILTB dan TPT, termasuk keamanan pemberian TPT; (b) sehingga masih terjadi penolakan yang datang dari orang tua/wali/keluarga anak dengan faktor risiko TBC yang kontak erat atau tinggal serumah dengan pasien TBC, serta; (c) pemahaman pada tenaga kesehatan yang masih bervariasi terhadap perlu atau tidaknya Pemberian TPT, serta (d) ketersediaan dan jaminan keberlanjutan logistik TPT di fasilitas kesehatan. Untuk menjawab hal-hal tersebut, PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI bersama SR TBC Siklus Indonesia DIY sebagai Perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil Penanggulangan TBC menggelar kegiatan Diskusi Publik bertajuk “Tanpa Tuberkulosis, Anak dan Keluarga Sehat, Indonesia Kuat!” di Sekretariat Daerah Kab. Sleman, DIY pada Jumat, 2 September 2022.

Menurut Country Officer WHO Indonesia, dr. Setiawan Jati Laksono, Terapi Pencegahan TBC adalah pengobatan yang ditawarkan kepada perseorangan yang diperkirakan memiliki risiko sakit TBC dalam rangka mengurangi risiko sakit TBC tersebut. TPT diperlukan karena mayoritas orang yang terinfeksi TBC tidak memiliki gejala atau tanda TBC, tetapi memiliki risiko untuk mendapatkan sakit TBC. dr. Setiawan juga menegaskan bukti ilmiah dari TPT “TPT sudah terbukti sebagai intervensi yang efektif untuk menghindarkan individu dari sakit TB, bahkan mengurangi risiko mengalami TB sebesar 60-90% dibandingkan dengan individu lain yang memiliki karakteristik yang sama tetapi tidak mendapatkan TPT.” Hal ini juga diperkuat dengan informasi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) diwakili oleh DR. dr. Nastiti Kaswandani, Sp.A(K), bahwa balita sehat yang kontak dengan pasien TBC harus mendapatkan TPT, “TPT terbukti efektif mencegah sakit TBC dan memiliki tingkat keamanan yang tinggi. Efek samping yang timbul hanya sedikit dan sebagian besar ringan serta dapat sembuh secara sempurna”. Dr. Nastiti juga memberikan penekanan pentingnya memberikan perhatian pada TBC anak, untuk mencegah kasus TBC di masa dewasa, yang berpotensi menjadi sumber penularan baru.

Kekuatan pemerintah dalam pemberian TPT tentu menjadi modal dasar. Menurut Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Dinkes DIY, dr. Ari Kurniawati, MPH, telah dibentuk Tim Percepatan Penanggulangan TBC yang disahkan dengan Surat Keputusan Gubernur DIY nomor 55/TIM/2022 sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden 67/2021. Salah satu rekomendasi Dinkes DIY untuk melibatkan Tim Percepatan dan kolaborasi dalam Pemberian TPT adalah “seluruh organisasi profesi dapat mensosialisasikan TPT kepada semua anggota profesi; sedangkan untuk fasyankes dapat berperan untuk menyiapkan SDM pelaksana TPT”. Hal ini dikuatkan oleh Ketua KOPI (Koalisi Organisasi Profesi Indonesia) TB DIY, yang merekomendasikan tiga strategi, “untuk peningkatan TPT balita dan kontak serumah kita dapat bersama-sama (1) mengadvokasikan memberikan tanggung jawab keberhasilan TPT pada kepala pemerintahan sehingga menjadikan TPT sebagai sebuah Gerakan bersama; (2) maksimalkan IK dan deteksi ILTB di populasi rentan (3) serta komunitas dapat mengaktifkan peran dasawisma untuk pendampingan anggota yang menerima TPT maupun pengobatan TBC”. Advokasi kepada pemerintah juga disambut baik oleh H. Koeswanto, S.IP selaku Ketua Komisi D DPRD DIY yang menyatakan dukungannya untuk Pemberian TPT dan upaya penanggulangan TBC di DIY. Menurut Ketua Komisi D DPRD DIY, pemerintah daerah harus yakin dengan upaya penanggulangan TBC dan bersama-sama bertanggung jawab dalam menanggulangi TBC.

Bagaimana peran komunitas dan fasilitas layanan kesehatan? Rekomendasi lain dari Dinkes DIY juga membicarakan peningkatan peran komunitas dalam investigasi kontak untuk menemukan kontak yang berhak mendapatkan TPT, memotivasi untuk memulai TPT dan menjadi pengawas menelan obat TPT. Peran komunitas dalam konteks pelaksana dana hibah The Global Fund untuk TBC diwakili Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI, juga telah mengembangkan beberapa strategi peningkatan cakupan TPT melalui video partisipatif oleh kader dan Tim Kerja Komunitas mengenai TPT dan implementasi pengawasan menelan obat TBC bersamaan dengan pemberian TPT berbasis keluarga menggunakan lembar edukasi khusus TPT. Rakhmawati selaku PMELC SR Siklus DIY menyampaikan bahwa pihak komunitas mengelola kader-kader TBC untuk dapat melakukan komunikasi persuasif kepada keluarga dengan balita yang kontak serumah dengan pasien TBC. Peran dari komunitas tentu sebagai pendukung dari peran utama fasilitas kesehatan (Puskesmas) yang melakukan skrining pada keluarga (kontak serumah) pasien baru TBC terutama balita dan anak untuk mengetahui status TBC dan segera diberikan TPT jika tidak terkonfirmasi TBC, sebagaimana diungkapkan dr. Cahyo Susilowati selaku dokter fungsional Puskesmas Cangkringan. Beliau juga menyampaikan perlunya pendampingan dengan konseling serta pemantauan efek samping dari TPT.

Diskusi Publik ditutup dengan Closing Remarks dari Dr. Adang Bachtiar, MPH, DSc selaku Ketua Technical Working Group (TWG) TB – CCM Indonesia yang menyatakan bahwa “Asumsinya, ILTB dan pemberian TPT adalah kunci sukes untuk dapat eliminasi TBC. Untuk dapat mengimplementasikan TPT diperlukan kepemimpinan yang kolaboratif dengan budaya kerja berbasis bukti.” Dalam paparannya, disebutkan bahwa hal ini dapat dilakukan dengan tripartit sampai tingkat desa. Perlu rangkaian advokasi, brokering knowledge dan convening stakeholder. Langkah strategis yang bisa dilakukan berupa kapasitasi trpiparti agar bisa optimal, kapasitasi jejaring kelembagaan, kapasitasi dalam pemanfaatan data dan kapasitasi dalam memahami eliminasi TB.

Selanjutnya Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI akan terus mengupayakan kolaborasi untuk memperkuat dukungan sistem untuk Pemberian TPT sekaligus “demand creation” sehingga gerakan bebas TBC dapat diwujudkan untuk mewujudkan eliminasi TBC 2030. Sebagaimana diungkapkan salah satu pasien TBC yang bersedia memberikan TPT kepada Tim Kerja Komunitas yang mendampingi “Biar saya saja yang sakit (TBC), anak saya jangan (harus tetap sehat)”.

Komunitas Berdaya, Akhiri TBC di Indonesia!

Sumber: PR Konsorsium STPI Penabulu

Editor: Windy Oktavina, Dinda Anisa Rakhmawulan, Farah Alphi Nabila

Tentang Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI
Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI adalah Principal Recipient (PR) Global Fund to Fight against AIDS, Tuberculosis, and Malaria (GF) khususnya dalam program ‘Eliminasi Tuberkulosis (TBC) di Indonesia’. Dalam program ini Konsorsium Komunitas Penabulu–STPI bertujuan agar Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) & komunitas TBC dan TB/HIV mampu dan berdaya dalam memberikan kontribusi terhadap upaya pencegahan dan pengendalian TBC di Indonesia secara berkesinambungan.Program ini dilaksanakan di 30 provinsi dan 190 kota/kabupaten di Indonesia pada tahun 2021-2023.

Website : tbckomunitas.or.id
IG            : tbc.komunitas

Narahubung:
Bunga Pelangi (Advocacy and Partnership Coordinator)
085691711100 | bunga.pelangi@penabulu-stpi.id

Berlangganan newsletter TBCIndonesia

Dapatkan update seputar Tuberkulosis di Indonesia

Artikel Lainnya